Rabu, 20 Februari 2013

Rekonstruksi Pemikiran Wong-IKLIMA Dalam Kepeminpinan Transpormatif

Ucapan terimakasih saya sampaikan pada rekan-rekan IKLIMA  (Ikatan Alumni Al-In’am Malang) yang senantiasa memberikan ruang diskusi menarik, sebagaimana dilakukan pada malam ini 21 April 2012, saya mendapat masukan yang sangat berlian dari obrolan singkat malam ini. Saya pikir, pemikiran-pemikiran konstruktif dan analitis seperti perlu kita jaga dan tradisikan.

Saya pun apresiasi pada rekan-rekan yang konsisten pada niat dan kometmennya untuk sama-sama melakukan perubahan dan perbaikan, tentu sebagaimana terjadi dalam diskusi bahwa cara perjuangan dan pengabdian tak harus sama. Upaya perubahan bisa dilakukan dengan banyak cara, bisa melalui sistem, bisa juga melalui non sistem. Namun perlu saya tekankan di sini, sitiap pilihan pasti memiliki resiko dan implikasi sesuai konteksnya.

Bagi rekan-rekan yang memilih jalur perjuangan melalui sistem pasti memiliki resiko positif dan negatif. Berjuang melalui sistem menurut hemat saya akan lebih efektif dan bisa dilakukan dengan keterukuran. Penyampai gagasan atau ide akan lebih mudah tersampaikan, terakomodir.  Namun tentu akan nada tantangan yang tak bisa teman-teman hindari. Setiap upaya perubahan pasti akan menimbulkan pro dan kontra, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak bahkan mungkin akan mendapat perlawanan “penolakan”, semua itu menjadi resiko pada seorang pencangan perubahan. Penolakan itu bisa datang dari sistem itu sendiri bisa juga dari objek yang teman-teman bidik di lapangan, hal-hal yang demikian tak menutup kemungkinan akan dihadapi oleh teman-teman.

Saya pikir apapun kondisi medan juang yang rekan-rekan hadapi, hendaknya tidak menyurutkan niat dan pengabdian teman-teman untuk ummat. Tanggung jawab kita adalah mendorong perubahan kearah yang lebih baik (konstruktif), dan saya pikir inilah tantangan kita sebagai insan akdemik.

Bila sebagain yang lain berpandangan memelihara keadaban budaya yang ada sebagai satu keharusan saya setuju. Namun kitapun harus sadar akan konteks peradaban modern yang terus menyerang dari berbagai arah. Mengantisipasi peradaban modern tidak bisa dilakukan dengan membentengi “mengasingkan diri dari pergaulan modern” diri. Mau tak mau kita mesti mengakrabi peradaban modern, menurut Drs. Hamid Fahmy Zarkasi “Kita kalah dalam istilah terminologi”, kekalahan ini lantaran sikap dan keengganan kita, artinya sikap abai terhadap kemajuan modern harus ditinjau ulang, kita harus mengambil peran aktif dengan terus mengimbangi arus modern dan tak boleh terbawa arus.

Maka pembagian peran sebagaimana dilakukan oleh teman-teman merupakan langkah maju yang harus terus ditumbuhkan guna tercipta satu keadaban sosila yang berwibawa dengan tetap berpegang pada nilai keadaban yang ada, apa yang teman-teman singgung dalam diskusi merupakan satu pernyataan sikap, sekaligus bisa dijadikan satu perbandingan bagi rekan-rekan di internal IKLIMA bahkan bisa menjadi kaca, begitulah kondisi sosial kita saat ini.

Pertanyaannya apakah kita akan mengikuti arus yang ada, atau kita melakukan ancang-ancang plan peruabahan. Sebagaimana saya sampaikan dalam forum, perjuangan yang kita lakukan harus mempertimbangkan implikasi ke depan. Saya percaya setiap pandangan teman-teman baik yang “ekstrim/mengalir” sama-sama memiliki nilai unik. Saya sepakat bahwa pertimbangan sosial dan kultur tak boleh disepelekan, namun perlu rekan-rekan pahami kadang satu perubahan memang harus ditempuh dengan cara radikal.

Mendorong perubahan dengan cara radikal memang terkesan inklusif dan masih dipandang sebagai hal yang tabu. Namun berdamai dengan kondisi yang distruktif “bermasalah” juga hanya akan menjadikan kita sebagai manusia yang kerdil, berpura-pura (menjadi manusia sok baik, pembela dll) tapi mengabaikan persoalan yang subtansi, cara semacam ini saya pikir caya yang tidak jantan dan tak mencerminkan karakter.

Perubahan adalah hal yang niscaya, tak bisa kita menghindarinya. Maka cara terbaik adalah melakukan satu konsolidasi mental.  Ya kita harus merubah mental dan pola pikir lama menuju satu pemikiran yang transformatif dan dinamis. Sebagaimana saya contohkan, misal peran komonikasi media (jejaring social, TV, Koran dll) kita tidak bisa menyepelehkan peran dari masing media itu. Maka seorang pendidik atau mereka yang memiliki perhatian pada pendidikan mau tak mau harus mengakrapi media-media tersebut.

Jangan sampai anak didiknya sudah mahir memanfaatkan perkembangan teknologi dan media, tapi gurunya masih gagap terhadap perkembangan “teknologi” media.  Maka di sinilah pentingnya pendidikan sepanjang masa. Artinya apa, mau tak mau para praktisi pendidikan harus terus melakukan ubdate keilmuannya, sekaligus terus melakukan adaptasi terhadap kemajuan media teknologi saat ini.

Bila ada pandangan pendidikan sepanjang zaman adalah adaptasi dari barat saya kurang setuju. Karena  pendidikan sepanjang masa merupkan hal yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. bahkan saya membahasakan pendidikan sepanjang masa sebagai satu yang wajib. Namun banyak dikalangan kita masih mengabaikan pentingnya pendidikan (anak) dan lebih mengejar nilai spiritual seprti pergi kebaitullah. Sedang tanggung jawab untuk mengantarkan anak agar memiliki bekal pengetahuan yang cukup kurang mendapat prioritas.

Maka tugas seorang guru ke depan tidak boleh hanya terpaku pada tanggung jawab materi saja, namun harus mencakup segala hal (integrasi agama dengan peradaban, sosial masyarakat dan kebudayaan).  Jangan samapai ada ungkapan pendidikan pesantren mati enggan majupun enggan. Saya lihat harus ada formulasi kebijakan yang terus mengedepan get ruts pembenahan dan perbaikan, baik itu dari tipikal kepemimpinan dan cara pengajaran.

Melihat konteks kepemimpinanan, pemimpin yang baik itu seperti apa dan bagaimana?. Dan bila sampai saat ini masih ada tipe kepemimpinan yang otoriter dan satu arah. Maka saya pikir harus dilakukan tranformasi kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mengedepankan kepentingan ummat yang lebih luas. Jangan mengorban ummat hanya lantaran mempertahankan egois kekuasaan. Terkait kepimpinan saya pikir kita bisa melihat sejarah kepemimpinan dari berbagai Negara dengan multi disiplin keilmuan.

Menurut hemat saya, tidak ada kepemimpinan yang sempurna sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. ambil satu contoh ketika dulu ada senggeta pemindahan hajar aswat dengan berbagai suku dan kabilah saat itu, Nabi yang dikenal jujur dan bijak didapuk untuk memecahkan persenggetaan antara suku dan kabilah saat itu. Maka dengan kecerdasan dan dimisioner kepemimpinan, Nabi Muhammad SAW. memberikan satu opsi yang sangat demokratis dengan pengajuan syarat “barang siapa lebih dulu masuk di Masjid” maka dialah yang berhak menganggakat batu mulia tersebut.

Opsi yang diajukan oleh Nabi Muhammad mendapat persetujuan secara aklamasi. Sebagaimana diceritakan dalam  sejarah orang yang pertama masuk masjid adalah Nabi, sebagaimana kesepakatan awal harusnya Nabi (kelompoknya) yang behak melakukan pemindahan hajar aswat, tapi Nabi memilih jalan kompromi semua kafilah dilibatkan. Maka saya pikir apa yang dicontohkan oleh Nabi bisa ditiru oleh pemimpin dari berbagai level, termasuk dalam hal pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar