Sabtu, 16 Februari 2013

Sederet Kata "IKLIMA" Profil Singkat

IKLIMA (Ikatan Alumni Al-In'Am Malang), sederet kata yang bergegas dan tak panjang. Dibawah bendera organisasi IKLIMA serangkaian rutinitas dijalankan: Silaturrahim, doa-mendoakan kemudian membedah kebuntuan teori yang statis menjadi dinamis dalam sebuah diskusi. Kita senang mengotak atik kemapanan dengan belajar anti ke-mapan-an. dilanggang tak berpodium itu kita duduk sama-sama. Kita sepakat masa depan organisasi tangungjawab bersama.

Setiap 23 Agustus kita ingat bagaimana organisasi ini didirikan. Kelahiran dan kehidupan merekomendasikan organisasi ke-dinamika-an hidup. Maka moment seperti ini akan terus berulang dari generasi ke-genarasi. Generasi setelah-nya “kita” akan menentukan bagaimana langkah organisasi kedepan. Memang moment yang kita ciptakan tak se-dahsyat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang saat itu langsung diproklamirkan oleh Bung Karno,  di mana setiap tahunnya diperingati secara masal di Republik kita “Indonesia”. 

Setelah organisasi IKLIMA terbentuk, tugas kita apa? Setelah kita berlelah dengan ide “membentuk organisasi IKLIMA” apa yang akan kita lakukan? (AD/ART) jalan kecil itu dibentangkan.  Tapi apakah AD/ART sebuah harga mati yang tidak boleh dirubah dan ditafsirkan, tidak ia bisa dirumuskan dan dikontruksi ulang sesuai konteks ke kinian.
Keputusan untuk membentuk organisasi tidak selesai hanya pada malam itu dan semua telah tergambar persis dan tinggal dijalankan. Keputusan malam itu bukan aplikasi sebuah program yang terselesaikan. Maka di ruang kongres, di situlah rumusan satu tahun kedepan dipermatang, hal semacam itu akan berulang menopang waktu dan akan terus terulang.

Dalam arti itu ia cermin kebebasan bertindak, keberanian, juga kerendahan hati. Sebab disitulah para pendiri IKLIMA, yang tak 100% tahu apa yang akan terjadi, seraya mengakui ke-tak-tahu-an itu melompat masuk kedalam sejarah. Jika ada diantara mereka yang seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-hentinya merenung, akhirnya toh berkesimpulan, bahwa berlarut-larut dalam pikiran, ”sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut,” seperti kata pangeran Denmark dalam lakon Shakespeare itu. (Goenawan Muhammad).

Di dalam huruf ”IKLIMA” itulah tampak gagasan revolusi berfikir bukanlah sebuah revolusi Leninis. Ia tak bertolak dari teori. Ia juga bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari ajaran dan petuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika pendirian organisasi itu bisa dianggap bagian penting dari revolusi kita, ia ekspresi sebuah pragmatisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi Amerika. Pada tanggal 17 Agustus itu, para pendiri IKIMA kita menampik ”teori penonton” tentang pengetahuan.

Teori itu, kata pelopor pragmatisme modern, Dewey, memanjakan ilusi ini: menganggap manusia, dari tempat duduknya diketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang perikehidupannya. Padahal yang ”benar” tak dapat dipisahkan dari laku. Bagi kaum pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan pijakan pengetahuan tentang dunia.

”IKILIMA” adalah pengakuan, jika ”kebebasan” adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana yang belum selesai. Tapi lebih penting lagi pencetusan organisasi itu seluruhnya mengisyaratkan, bahwa tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum hal-ihwal.

Organisasi “IKLIMA” itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan genting yang melahirkannya mengingatkan: hidup, juga hidup sebuah dinamika dan perjuangan, terdiri dari saat-saat yang tak pernah sempurna. Hidup selalu mengandung ”kewacanaan” yang belum tercatat. Sebab itu kita harus terbuka, berseru kepada diri ini, untuk semangat menyongsong masa depan yang tak pernah kita ketahui arah berlabuhnya.
Profil Singkat Pendiri ILKIMA
Diakhir ini saya diminta untuk menceritakan orang-orang yang mendirikan ILKIMA. Sebenarnya saya amat berat melakukan ini, karena saya yakin tujuan didirikan IKLIMA bukan untuk mencari nama. Seperti yang pernah saya kemukakan pada tulisan-tulisan sebelumnya bahwa pendiri organisasi ini memiliki latar belakang berbeda satu dengan yang lain. Mereka pun digodok di lingkungan kampus berbeda. 

Sujibto dan M. Sauqi merupakan Alumni Al-In’am (MI-MTs), kemudian melanjutkan SMA-nya di Pesantren Annuqoyah Guluk-guluk Sumenep. Setelah menyelasikan pendidikan SMA di pesantren ia melanjutkan Studi di salah satu Perguruan Tinggi (PT) swasta. Sujibto meneruskan di UNISMA (Universitas Islam Malang) sedangkan M. Sauqi pernah berada di Kediri “Pare” mengasah kemampuan bahasa Ingrisnya sambil melanjutkan UNIKAN (Universitas Kanjuruhan Malang)  keduanya dan lulus di tahun 2009. Keduanya pernah aktif di Organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), didirikannya IKLIMA tidak lepas dari peran mereka, setidaknya kosan Sujibto jadi saksi lahirnya ini, dan nama IKIMA atas ide M. Sauqi (setelah nama ngopi bareng Al-in’am). 

Selain itu sosok sedehana Mahmudi dan Yusman juga Alumni Al-inam (MI-MTs). Setelah lulus dari MTs Al-In’am keduanya tidak  melanjutkan SMA dilembaga tersebut.  Namun keduanya  memilih melanjutkan ke Sekolah Mengah Aliyah Negeri (MAN) Sumenep. Mahmudi sempat menjabat Ketua Umum OSIS 2005-2006 di MAN Sumenep. Setelah menyelasaikan pendidikan di MAN keduanya melanjutkan Studi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Malang. Mahmudi Melanjutkan di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, sedangkan Yusman Melanjutkan di Universitas Negeri Malang (UM).

Di Malang Mahmudi dan Yusman aktif di organisasi yang berbeda. Mahmudi Aktif di kegiatan Pers “Jurnalistik” Mahasiswa UAPM INOVASI, selain itu dia juga aktif di kegiatan HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) IPS dan BEM (Badan Eksekuif Mahasiswa). Yusman Aktif  di HMJ Bahasa Arab, DMF (Dewan Mahasiswa Fakultas) Sastra UM dan organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Mahmudi dan Yusman memiliki peran yang tidak kalah penting atas didirikanya organisasi IKLIMA. Tanggal 23 Agustus malam Jumat, Mahmudi bersama M. Sauqi mengesahkan logo dan lambang IKLMA. Selain itu Mahmudi mengabadikan moment- moment IKLIMA dalam tulisan “Profil ILKLIMA” dan beberapa tulisan lainnya. Sedangkan Yusman sebagai layout tulisan atau moment-moment tertentu dan mengabadikaanya di situs “blog” (http://iklima-sm.blogspot.com), sehingga bisa dibuka kapan dan dimana saja

Selain pemuda yang disebutkan di atas, ada beberapa orang pemuda yang harus saya sebutkan. Pemuda dibawah ini yang menghidupkan roda organisasi ILKLIMA hingga pada tahun 2011:
Tola'edi                       : IKIP Budiutomo
Abd. Jamil                   : UNISMA
Fawait                         : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
Darsono                      : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
Muhaimin                    : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
Faizin                          : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
M. Aliwafa                  : Universitas Brawijaya (UB) Malang
                       
Potensi pemuda dilihat dari banyaknya jumlah pemuda usia pada rentang usia 16 sampai 30 tahun yang mencapai ± 62 juta jiwa atau 27 % dari jumlah penduduk Indonesia. (Sumber : Proyeksi data single years BPS Tahun 2009). Demikian juga jumlah organisasi kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang terus mengalami peningkatan, yakni telah mencapai ± 276.787 OKP dari tingkat nasional s/d kelurahan/desa. Besarnya potensi pemuda di atas bila dikembangkan dengan baik maka pemuda dapat diandalkan sebagai agen perubahan, kontrol sosial, dan kekuatan moral.

Saya berterimakasih kepada mereka para pemuda yang menghidupkan IKLIMA hingga sekarang, semoga IKLIMA tetap jaya. Jangan kalian merasa tidak dianggap karena anggapan tidak akan menjamin masa depan. Melangkahlah dengan sigap. Jangan terbelit asumsi, justru kita berkesempatan untuk mematahkan dan ciptakan asumsi baru, melalui produktifitas kita masing-masing.

Salam Perjuangan ….!!!!
By: Mahmudi IKLIMA

0 komentar:

Posting Komentar