IKLIMA (Ikatan Alumni Al-In'Am Malang), sederet kata yang bergegas dan tak panjang. Dibawah bendera organisasi IKLIMA serangkaian rutinitas dijalankan: Silaturrahim, doa-mendoakan kemudian membedah kebuntuan teori yang statis menjadi dinamis dalam sebuah diskusi. Kita senang mengotak atik kemapanan dengan belajar anti ke-mapan-an. dilanggang tak berpodium itu kita duduk sama-sama. Kita sepakat masa depan organisasi tangungjawab bersama.
Setiap 23
Agustus kita ingat bagaimana organisasi ini didirikan. Kelahiran dan kehidupan
merekomendasikan organisasi ke-dinamika-an hidup. Maka moment seperti ini akan
terus berulang dari generasi ke-genarasi. Generasi setelah-nya “kita” akan
menentukan bagaimana langkah organisasi kedepan. Memang moment yang kita
ciptakan tak se-dahsyat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang saat itu
langsung diproklamirkan oleh Bung Karno, di mana setiap tahunnya
diperingati secara masal di Republik kita “Indonesia”.
Setelah
organisasi IKLIMA terbentuk, tugas kita apa? Setelah kita berlelah dengan ide
“membentuk organisasi IKLIMA” apa yang akan kita lakukan? (AD/ART) jalan kecil
itu dibentangkan. Tapi apakah AD/ART sebuah harga mati yang tidak boleh
dirubah dan ditafsirkan, tidak ia bisa dirumuskan dan dikontruksi ulang sesuai
konteks ke kinian.
Keputusan untuk
membentuk organisasi tidak selesai hanya pada malam itu dan semua telah
tergambar persis dan tinggal dijalankan. Keputusan malam itu bukan aplikasi
sebuah program yang terselesaikan. Maka di ruang kongres, di situlah rumusan
satu tahun kedepan dipermatang, hal semacam itu akan berulang menopang waktu
dan akan terus terulang.
Dalam arti itu
ia cermin kebebasan bertindak, keberanian, juga kerendahan hati. Sebab
disitulah para pendiri IKLIMA, yang tak 100% tahu apa yang akan terjadi, seraya
mengakui ke-tak-tahu-an itu melompat masuk kedalam sejarah. Jika ada diantara
mereka yang seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-hentinya merenung,
akhirnya toh berkesimpulan, bahwa berlarut-larut dalam pikiran, ”sebagian
membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut,” seperti kata
pangeran Denmark dalam lakon Shakespeare itu. (Goenawan Muhammad).
Di dalam huruf
”IKLIMA” itulah tampak gagasan revolusi berfikir bukanlah sebuah revolusi
Leninis. Ia tak bertolak dari teori. Ia juga bukan seperti Revolusi Iran, yang
berangkat dari ajaran dan petuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika pendirian
organisasi itu bisa dianggap bagian penting dari revolusi kita, ia ekspresi
sebuah pragmatisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi Amerika. Pada tanggal
17 Agustus itu, para pendiri IKIMA kita menampik ”teori penonton” tentang
pengetahuan.
Teori itu, kata
pelopor pragmatisme modern, Dewey, memanjakan ilusi ini: menganggap manusia,
dari tempat duduknya diketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang
perikehidupannya. Padahal yang ”benar” tak dapat dipisahkan dari laku. Bagi
kaum pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan pijakan pengetahuan
tentang dunia.
”IKILIMA” adalah
pengakuan, jika ”kebebasan” adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana yang belum
selesai. Tapi lebih penting lagi pencetusan organisasi itu seluruhnya
mengisyaratkan, bahwa tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum
hal-ihwal.
Organisasi
“IKLIMA” itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan genting yang
melahirkannya mengingatkan: hidup, juga hidup sebuah dinamika dan perjuangan,
terdiri dari saat-saat yang tak pernah sempurna. Hidup selalu mengandung
”kewacanaan” yang belum tercatat. Sebab itu kita harus terbuka, berseru kepada
diri ini, untuk semangat menyongsong masa depan yang tak pernah kita ketahui
arah berlabuhnya.
Profil
Singkat Pendiri ILKIMA
Diakhir ini saya
diminta untuk menceritakan orang-orang yang mendirikan ILKIMA. Sebenarnya saya
amat berat melakukan ini, karena saya yakin tujuan didirikan IKLIMA bukan untuk
mencari nama. Seperti yang pernah saya kemukakan pada tulisan-tulisan
sebelumnya bahwa pendiri organisasi ini memiliki latar belakang berbeda satu
dengan yang lain. Mereka pun digodok di lingkungan kampus berbeda.
Sujibto dan M. Sauqi merupakan Alumni
Al-In’am (MI-MTs), kemudian melanjutkan SMA-nya
di Pesantren Annuqoyah Guluk-guluk Sumenep. Setelah
menyelasikan pendidikan SMA di pesantren ia melanjutkan Studi di salah satu Perguruan Tinggi (PT) swasta.
Sujibto meneruskan di UNISMA (Universitas Islam
Malang) sedangkan M. Sauqi pernah berada di Kediri “Pare” mengasah
kemampuan bahasa Ingrisnya sambil melanjutkan UNIKAN (Universitas
Kanjuruhan Malang) keduanya dan lulus di tahun 2009. Keduanya
pernah aktif di Organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam),
didirikannya IKLIMA tidak lepas dari peran mereka, setidaknya kosan Sujibto
jadi saksi lahirnya ini, dan nama IKIMA atas ide M. Sauqi (setelah nama ngopi
bareng Al-in’am).
Selain itu sosok
sedehana Mahmudi dan Yusman
juga Alumni Al-inam (MI-MTs). Setelah lulus dari MTs
Al-In’am keduanya tidak melanjutkan SMA dilembaga tersebut. Namun
keduanya memilih melanjutkan ke Sekolah Mengah Aliyah Negeri
(MAN) Sumenep.
Mahmudi sempat menjabat Ketua Umum OSIS 2005-2006 di MAN Sumenep.
Setelah menyelasaikan pendidikan di MAN
keduanya melanjutkan Studi di salah satu Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) di Malang. Mahmudi Melanjutkan di Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, sedangkan Yusman
Melanjutkan di Universitas Negeri Malang (UM).
Di Malang Mahmudi dan Yusman aktif di
organisasi yang berbeda. Mahmudi Aktif di kegiatan Pers “Jurnalistik”
Mahasiswa UAPM INOVASI, selain itu dia juga aktif di kegiatan HMJ (Himpunan
Mahasiswa Jurusan) IPS dan BEM (Badan Eksekuif Mahasiswa). Yusman
Aktif di HMJ Bahasa Arab, DMF (Dewan Mahasiswa Fakultas) Sastra UM dan
organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Mahmudi dan Yusman memiliki peran
yang tidak kalah penting atas didirikanya organisasi IKLIMA. Tanggal 23 Agustus
malam Jumat, Mahmudi bersama M. Sauqi mengesahkan logo dan lambang IKLMA.
Selain itu Mahmudi mengabadikan moment- moment IKLIMA dalam tulisan “Profil ILKLIMA”
dan beberapa tulisan lainnya. Sedangkan Yusman sebagai layout tulisan atau
moment-moment tertentu dan mengabadikaanya di situs “blog” (http://iklima-sm.blogspot.com), sehingga
bisa dibuka kapan dan dimana saja
Selain pemuda
yang disebutkan di atas, ada beberapa orang pemuda yang harus saya sebutkan.
Pemuda dibawah ini yang menghidupkan roda organisasi ILKLIMA hingga pada tahun
2011:
Tola'edi
: IKIP Budiutomo
Abd. Jamil :
UNISMA
Fawait
: Unitri (Univ. Tribuana)
Malang
Darsono
: Unitri (Univ. Tribuana) Malang
Muhaimin
: Unitri (Univ.
Tribuana) Malang
Faizin
: Unitri (Univ. Tribuana) Malang
M.
Aliwafa
: Universitas Brawijaya (UB) Malang
Potensi pemuda
dilihat dari banyaknya jumlah pemuda usia pada rentang usia 16 sampai 30 tahun
yang mencapai ± 62 juta jiwa atau 27 % dari jumlah penduduk Indonesia.
(Sumber : Proyeksi data single years BPS Tahun 2009). Demikian juga jumlah
organisasi kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang terus mengalami peningkatan, yakni
telah mencapai ± 276.787 OKP dari tingkat nasional s/d kelurahan/desa. Besarnya
potensi pemuda di atas bila dikembangkan dengan baik maka pemuda dapat
diandalkan sebagai agen perubahan, kontrol sosial, dan kekuatan moral.
Saya
berterimakasih kepada mereka para pemuda yang menghidupkan IKLIMA hingga
sekarang, semoga IKLIMA tetap jaya. Jangan kalian merasa tidak dianggap karena
anggapan tidak akan menjamin masa depan. Melangkahlah dengan sigap. Jangan
terbelit asumsi, justru kita berkesempatan untuk mematahkan dan ciptakan asumsi
baru, melalui produktifitas kita masing-masing.
Salam
Perjuangan ….!!!!
By: Mahmudi
IKLIMA
0 komentar:
Posting Komentar