This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 26 Februari 2013

Kebersamaan IKLIMA









Kongres Ke-III

Prosesi pelaksanaan kongres ke-III yang di laksanakan di Masjid Darussalam Desa Landungsari Kecamatan DAU Kabupaten Malang








Imajinasi "IMAJINATIF" Wujud Pengetahuan

Ketika saya menulis bahan ini, penulis teringat pada wejangan guru MAN Sumenep Ibnu Hajar, Mpdi. Guru saya berkata seperti ini " Kalau bercita-cita"Imajinasi" jangan setengah-setengah. bercita-cita setinggi langit, biar kalau jatuh tersangkut pada ranting-rantig yang lain". Walau perkataan itu disampaikan dengan setengah bearcanda, setelah saya cermati ada benarnya, bahwa cita-cita itu sangat penting dan bisa memacu semangat seseorang,
Albert Einstein berpendapat bahwa "imajinasi lebih penting daripada pengetahuan", Perlu ditanamkan bahwa kekayaan berada dalam kekuatan otak, bukan terletak pada kemampuan otot.Dari kutipan tersebut dapat kita mengatakan bahwa tumbuh berkembangnya ilmupengatahuan melalui proses “imajinasi” nalar yang konstruktif.
Sebab sebuah imajinasi dapat membangun sebuah pengetahuan yang baru. Sebelum kita melangkah pada pembahasan yang lebih urgen, alngkah baiknya kita mengatahui apa itu imajinasi, Imajinasi : Adalah gambaran angan, daya membayangkan; kahayalan. Berangkat dari definisi tersebut dapat kita menarik benang merah bahwa imajinasi merupakan sebuah kerangka fikir Alfikr yang memiliki sebuah tujuan, dimana lahirnya tujuan itu terbentuk dari sebuah kayalan. “kemudian hayalan itu diwujudkan dalam sebuah instrumen yang konkrit dan ilmiah”.
Islam sebagai agama Rahamatallil-alamin mengamanatkan bagi seluruh ummatnya untuk mampu menangkap “berimajinasi” dari setiap yang kita temui. Landasan itu bisa kita ambil dari di turunkannya ayat alquran pertama Al-alaq “iqro” bacalah. Di mana kalau kita telaah lebih dalam dari konteks ayat tersebut bahwa tuhan lewat wahyu yang disampaikan kepada Muhammad Sw. secara tidak langsung merupakan tantangan kepada kita, untuk selalu gelisah terhadap fenomena yang ada di sekitar kita. Kita dituntut untuk memiliki kemampuan menangkap setiap apa yang kita temui. Tentunya pembacaan “imajinasi” itu akan membawa kita “ummat” pada sebuah penemuan-penemuan baru.
Akan tetapi tidak semua imajinasi fositif, ada juga imajinasi yang negatif. Contoh sederhana dari imajenasi negatif “berhayal memiliki istri teman/tetangga” dll. Akan tetapi dalam pembahasan ini akan diprioritaskan pada sebuah pembangunan imajinasi yang positif.
Perkembangan ilmu pengetahuan seperti kemajuan teknologi tidak lepas dari kegelisahan “imajinasi” individu yang diwujudkan dalam krangka ilmiah.
Semisal perkembangan dan penemuan-penemuan dalam kependidikan terutama cara mengajar. Awalnya pendidikan (pengajar) dikembangkan dengan metode ceramah, kemudian berubah KBK (kurikulum berbasis kopetensi) KTSP (kurikulun tingkat satuan pendidikan). Semua metode tersebut merupakan bentuk konkrit dari kemampuan seseorang dalam berimajenasi.
Akan tetapi sebuah imajinasi akan menjadi kerangka yang kering apabila tidak ada tindak lanjut. Oleh sebab itu, apa yang kita bangun lewat imajenasi tersebut harus direalisasikan “praktek”.
Sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955). “Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Dari kita berfikir “imajenasi” maka lahirlah sebuah teori, kemuadian dari teori tersebut kita peraktekkan. Kata yang digaris bawahi kalau kita analis mendalam, “bahwa hanya orang-orang yang jenius “imajinasi” kuat yang mampu memadukan antara teori dan peraktek.
Dalam khasanah peraktek pengagas pendidikan pertama Ki Hajar dewantoro juga telah melakukan hal yang sama yaitu mengembangkan “imajinasi” pendidikan dengan tataran pada saat itu. Pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi).
Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Kiaranya gagasan Ki Hajar dewantoro pada masa lalu sampai saat ini masih relavan. Para pakar pendidikan dan pengembangan pendidikan itu sendiri terilhami oleh Ki Hajar dewantoro. Dalam kajian ini tidak ada kesimpulan yang bisa penulis berikan biarkan nalar imaji kita mengkonkkritkan segala yang terlintas dalam benak. 

Oleh : Mahmudi Ibnu Mas'ud

Kamis, 21 Februari 2013

Berita, Bukan Anti Kritik

"Saya tidak suka pada teman-teman di Malang, Organisasi (...........) menjadi hancur berantakan karena kritikan......"

Tak Ada Masalah Dengan Saya

Kutipan di atas itu saya dengar dari teman yang saat ini masih kuliah di Malang, dan sekaligus disarankan kepada teman-teman di Malang saya khususnya. Bahkan menurut keterangan teman yang menyampaikan kepada saya , sayalah orang yang mungkin mengkritik dan saya pulalah yang menjadi penyebab kehancuran organisasinya.

Dengan sikap penuh lugu teman saya itu bertanya dan mengira saya pernah berkomentar sesuatu di jejaring sosialnya. Saya pun menjawab "Seingat saya, saya belum pernah berkomunikasi atau memberikan statement apapun pada orang itu".

Harmonisasi Budaya Lokal, Dalam Prespektif “Ekonomi” Modern

Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma ajem
(Berperikulah-lah secara proporsi, dan jangan mempolitisir diri)

Ungkapan bahasa madura di atas terlontar dari seorang Ulama' kampung K. H. Abdul Aziz (Almarhum). Ketika itu  K. H. Abdul Aziz mengumpulkan masyarakat untuk menghimpun dana pembangunan masjid. Ungkapan Mon Ajem je' tek mapetek. Mon petek je' jem ma ajem, merupakan penegasan sikap dan perilaku "kalau orang kaya ya jangan menyumbang seperti orang miskin dan prang miskin tidak perlu iri dengan orang kaya".

Kalau didalami ungkapan bahasa madura di atas, ternyata meiliki aspek yang luas dalam kehidupan sehari-hari kita. Pertama masalah perilaku, kedua budaya, dan yang ketiga masalah gaya hidup dan pergaulan. Ketiga aspek itu kini telah mengalami polarisasi dan pergeseran yang besar. Kemajuan di bidang teknologi telah menggeser nilai-nilai lokal.

Pancasila 'UUD 45' Adalah Harga Mati "Merah Putih Berkibarlah, Indonesia Tetap Jaya"

 Kami mengakui bahwa Al-qur'an adalah sebagai petunjuk 'Imam' san Al-hadits sebagai sunnaha Rasulullah SAW. Kami pun melaksanakan shalat yang lima waktu, kami berpuasa sebagaimana rasul ajarkan, kami juga melakukan hal-hal yang ma;ruf san mencegah yang mungkar "kami adalah islam", tai kamibukan bangsa arab yang harus inklut dalam budaya ke-arab-araban. Kami adalah rakyat 'bangsa' indonesia yang lekat dengan kultur dan budaya ke-indonesiaan, dan kami tidak harus ke-arab-araban. Kami bangga dengan pancasila, kamipun sangat apresiatif terhadap undang-undang dasar 45 yang lahir dari keringat para pejuang.

Kami warga indonesia, yang beragama islam, tapi islam-kan tidak berarti harus kearab-araban seperti yang telah disinggung di atas. Kami punya budaya sendiri. Budaya kami beradap dan memilki nilai etik-estetik, dan kami akan tetap mempertahankan hal itu. Bukankah islam adalah Agama rahmatan lil-alamin, yang damai dan bisa berdampingan dengan budaya mana-pun ‘termasuk di indonesia, bukankah pancasila dan undang-undang dasar 45 tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal islam, lantas kenapa ada sebagian orang yang hendak merubah idiologi kebangsaan dengan alasan sebagan kewajiban dan keharusan agama ”jihad”? Apa islam harus seperti itu ?

Kami bangga indonesia dan benci terhadap teror “terorisme”, saya tidak hendak mengatakan teror itu idintik islam, tapi kalau ada pemeluk islam yang menjadi kaki tangan-budak meneror negri ini itu benar adanya. Dan kami tidak akan pernah marah atau sakit hati terhadap orang yang mengatakan islam idintik teror, karena saya yakin islam tidak pernah mengajarkan teror seperti yang sebagian orang katakan. Hanya orang-orang yang tidak paham islam yang kemudian mengkaitkan islam sebagai penyebab teror. Kalau mereka belajar lebih dalam tentang Islam tentu hal yang demikian itu tidak mungkin terjadi.

Kami yakin tidak akan pernah ada golongan apa pun yang berani melawan kekuatan islam, termasuk AS yang dianggap musuh islam, namun saya tidak setuju jika AS dianggap sebagai musuh islam, karena kita tau perkembangan islam disana saat ini semakin mengembirakan, lantas apakah kita masih memaksakan harus beridiologi islam pula, tidak. Kita tidak hendak mempersoalan keyakinan personal, karena kayakinan adalah persoalan perifat, yang tau hanyah hamba dan tuhan itu sendiri.

Islam yang dikatakan teroris oleh orang-orang tertentu termentahkan dengan sendirinya, karena populasi pemeluk islam bertambah berkisas di atas 75% pertahunnya ini adalah kebanggaan, sekaligus mematahkan klaim islam sebagai teroris. Dan indonesia harus bersih dari berbagai teror “terorisme”.

Indonesia adalah indonesia, indonesia tidak harus keislam-islaman “menegakkan khilafah ikslam” perjalanan atau sejarah ke-indonesia selama ini sudah sudah baik dan terus melakukan berbagai perubahan yang Insyaallah semakin baik. Persoalan masih terdapat kekurangan di sana-sini maka hal itu adalah wajar. Namun kami oktimis indonesia akan terus berdigdaya di langgang dunia internasional, dan akan menjadi trenseter dunia.

Maka hanya orang-orang yang tidak menggunakan hati nuranilah yang hendak mengemposi negri ini ‘mereubah ideologi-menebar teror dll’ patriotisme dan nasionalisme harus kita pertahankan dan merupakan harga mati. Kami hanya merekonmendasikan kepada seluruh rakyat indonesia supaya tetap perpengan teguh terhadap keyakinan yang baik, memelihar perdamaian, menjung-jung tinggi nilai-nilai kebenikaan. Hidup Indonesia …… Berkibarlah merah putihku di bumi yang permai ini.

Rabu, 20 Februari 2013

Rekonstruksi Pemikiran Wong-IKLIMA Dalam Kepeminpinan Transpormatif

Ucapan terimakasih saya sampaikan pada rekan-rekan IKLIMA  (Ikatan Alumni Al-In’am Malang) yang senantiasa memberikan ruang diskusi menarik, sebagaimana dilakukan pada malam ini 21 April 2012, saya mendapat masukan yang sangat berlian dari obrolan singkat malam ini. Saya pikir, pemikiran-pemikiran konstruktif dan analitis seperti perlu kita jaga dan tradisikan.

Saya pun apresiasi pada rekan-rekan yang konsisten pada niat dan kometmennya untuk sama-sama melakukan perubahan dan perbaikan, tentu sebagaimana terjadi dalam diskusi bahwa cara perjuangan dan pengabdian tak harus sama. Upaya perubahan bisa dilakukan dengan banyak cara, bisa melalui sistem, bisa juga melalui non sistem. Namun perlu saya tekankan di sini, sitiap pilihan pasti memiliki resiko dan implikasi sesuai konteksnya.

Bagi rekan-rekan yang memilih jalur perjuangan melalui sistem pasti memiliki resiko positif dan negatif. Berjuang melalui sistem menurut hemat saya akan lebih efektif dan bisa dilakukan dengan keterukuran. Penyampai gagasan atau ide akan lebih mudah tersampaikan, terakomodir.  Namun tentu akan nada tantangan yang tak bisa teman-teman hindari. Setiap upaya perubahan pasti akan menimbulkan pro dan kontra, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak bahkan mungkin akan mendapat perlawanan “penolakan”, semua itu menjadi resiko pada seorang pencangan perubahan. Penolakan itu bisa datang dari sistem itu sendiri bisa juga dari objek yang teman-teman bidik di lapangan, hal-hal yang demikian tak menutup kemungkinan akan dihadapi oleh teman-teman.

Saya pikir apapun kondisi medan juang yang rekan-rekan hadapi, hendaknya tidak menyurutkan niat dan pengabdian teman-teman untuk ummat. Tanggung jawab kita adalah mendorong perubahan kearah yang lebih baik (konstruktif), dan saya pikir inilah tantangan kita sebagai insan akdemik.

Bila sebagain yang lain berpandangan memelihara keadaban budaya yang ada sebagai satu keharusan saya setuju. Namun kitapun harus sadar akan konteks peradaban modern yang terus menyerang dari berbagai arah. Mengantisipasi peradaban modern tidak bisa dilakukan dengan membentengi “mengasingkan diri dari pergaulan modern” diri. Mau tak mau kita mesti mengakrabi peradaban modern, menurut Drs. Hamid Fahmy Zarkasi “Kita kalah dalam istilah terminologi”, kekalahan ini lantaran sikap dan keengganan kita, artinya sikap abai terhadap kemajuan modern harus ditinjau ulang, kita harus mengambil peran aktif dengan terus mengimbangi arus modern dan tak boleh terbawa arus.

Maka pembagian peran sebagaimana dilakukan oleh teman-teman merupakan langkah maju yang harus terus ditumbuhkan guna tercipta satu keadaban sosila yang berwibawa dengan tetap berpegang pada nilai keadaban yang ada, apa yang teman-teman singgung dalam diskusi merupakan satu pernyataan sikap, sekaligus bisa dijadikan satu perbandingan bagi rekan-rekan di internal IKLIMA bahkan bisa menjadi kaca, begitulah kondisi sosial kita saat ini.

Pertanyaannya apakah kita akan mengikuti arus yang ada, atau kita melakukan ancang-ancang plan peruabahan. Sebagaimana saya sampaikan dalam forum, perjuangan yang kita lakukan harus mempertimbangkan implikasi ke depan. Saya percaya setiap pandangan teman-teman baik yang “ekstrim/mengalir” sama-sama memiliki nilai unik. Saya sepakat bahwa pertimbangan sosial dan kultur tak boleh disepelekan, namun perlu rekan-rekan pahami kadang satu perubahan memang harus ditempuh dengan cara radikal.

Mendorong perubahan dengan cara radikal memang terkesan inklusif dan masih dipandang sebagai hal yang tabu. Namun berdamai dengan kondisi yang distruktif “bermasalah” juga hanya akan menjadikan kita sebagai manusia yang kerdil, berpura-pura (menjadi manusia sok baik, pembela dll) tapi mengabaikan persoalan yang subtansi, cara semacam ini saya pikir caya yang tidak jantan dan tak mencerminkan karakter.

Perubahan adalah hal yang niscaya, tak bisa kita menghindarinya. Maka cara terbaik adalah melakukan satu konsolidasi mental.  Ya kita harus merubah mental dan pola pikir lama menuju satu pemikiran yang transformatif dan dinamis. Sebagaimana saya contohkan, misal peran komonikasi media (jejaring social, TV, Koran dll) kita tidak bisa menyepelehkan peran dari masing media itu. Maka seorang pendidik atau mereka yang memiliki perhatian pada pendidikan mau tak mau harus mengakrapi media-media tersebut.

Jangan sampai anak didiknya sudah mahir memanfaatkan perkembangan teknologi dan media, tapi gurunya masih gagap terhadap perkembangan “teknologi” media.  Maka di sinilah pentingnya pendidikan sepanjang masa. Artinya apa, mau tak mau para praktisi pendidikan harus terus melakukan ubdate keilmuannya, sekaligus terus melakukan adaptasi terhadap kemajuan media teknologi saat ini.

Bila ada pandangan pendidikan sepanjang zaman adalah adaptasi dari barat saya kurang setuju. Karena  pendidikan sepanjang masa merupkan hal yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. bahkan saya membahasakan pendidikan sepanjang masa sebagai satu yang wajib. Namun banyak dikalangan kita masih mengabaikan pentingnya pendidikan (anak) dan lebih mengejar nilai spiritual seprti pergi kebaitullah. Sedang tanggung jawab untuk mengantarkan anak agar memiliki bekal pengetahuan yang cukup kurang mendapat prioritas.

Maka tugas seorang guru ke depan tidak boleh hanya terpaku pada tanggung jawab materi saja, namun harus mencakup segala hal (integrasi agama dengan peradaban, sosial masyarakat dan kebudayaan).  Jangan samapai ada ungkapan pendidikan pesantren mati enggan majupun enggan. Saya lihat harus ada formulasi kebijakan yang terus mengedepan get ruts pembenahan dan perbaikan, baik itu dari tipikal kepemimpinan dan cara pengajaran.

Melihat konteks kepemimpinanan, pemimpin yang baik itu seperti apa dan bagaimana?. Dan bila sampai saat ini masih ada tipe kepemimpinan yang otoriter dan satu arah. Maka saya pikir harus dilakukan tranformasi kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mengedepankan kepentingan ummat yang lebih luas. Jangan mengorban ummat hanya lantaran mempertahankan egois kekuasaan. Terkait kepimpinan saya pikir kita bisa melihat sejarah kepemimpinan dari berbagai Negara dengan multi disiplin keilmuan.

Menurut hemat saya, tidak ada kepemimpinan yang sempurna sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. ambil satu contoh ketika dulu ada senggeta pemindahan hajar aswat dengan berbagai suku dan kabilah saat itu, Nabi yang dikenal jujur dan bijak didapuk untuk memecahkan persenggetaan antara suku dan kabilah saat itu. Maka dengan kecerdasan dan dimisioner kepemimpinan, Nabi Muhammad SAW. memberikan satu opsi yang sangat demokratis dengan pengajuan syarat “barang siapa lebih dulu masuk di Masjid” maka dialah yang berhak menganggakat batu mulia tersebut.

Opsi yang diajukan oleh Nabi Muhammad mendapat persetujuan secara aklamasi. Sebagaimana diceritakan dalam  sejarah orang yang pertama masuk masjid adalah Nabi, sebagaimana kesepakatan awal harusnya Nabi (kelompoknya) yang behak melakukan pemindahan hajar aswat, tapi Nabi memilih jalan kompromi semua kafilah dilibatkan. Maka saya pikir apa yang dicontohkan oleh Nabi bisa ditiru oleh pemimpin dari berbagai level, termasuk dalam hal pendidikan.

Minggu, 17 Februari 2013

Spirit Dan Ikhtiyar Wong IKLIMA

IKLIMA, kita pasti akan menyela dan bertanya atau menjastis dan berkata “palah arti sebuah nama bila tidak dapat memberikan satu oase baru dan pembaharuan. Kalau Cuma segerombolan apa bedanya dengan preman di jalan. Kalau Cuma ujub-ujub apa artinya sebuah labelitas”. Dan saya percaya bahwa IKLIMA tidak untuk itu, bukan dan tidak untuk mempercantik nama, bukan pula sekedar geroblan tanpa maksud dan tujuan dan lahirnya pun tidak sekedar ujub-ujub.

Untuk itu mari kita jaga semangat juang sebagaimana dulu ketika organisasi ini digagas, Saya ingat betul bagaimana semangat teman-teman dalam membentuk IKLIMA saat itu, pantulan optimisme mereka masih saya rasakan hingga saat ini. Baiklah saya akan coba menguraikan latar belakang dan semangat dari gagasan yang pada akhirnya mengkerucut pada satu identitas yang jelas dan terbakukan sebagaimana kita kenal sekarang yaitu IKLIMA (Ikatan Alumni Al-in’am) : Baca IKLIMA Malang.

IKLIMA tidak semerta-merta muncul tanpa satu pertimbangan dan sepirit perjuangan, semangat dan sepirit itu meresonansi dari alumni Al-in’am yang kuliah di Malang. Awal munculnya gagasan berangkat dari satu kegelisahan yang sama. Di mana saat itu sesama alumni Al-in’am belum saling akrab satu dengan yang lain, Ketidak akraban itu bukan kami tidak kenal atau tidak tahu, kami saling tahu, namun karena medan dan lokasi tempat kuliah yang berbeda menyulitkan kami untuk melakukan koordinasis dan konsilidasi. Itulah yang kemudian medorong kita untuk bisa berkumpul dan berbagi, yang kemudian kita kemas dalam bentuk organisasi.

Sebelum dibentuk organisasi tak ada hal serius yang kami bahasa. Tapi kami tetap menjaga silaturrahim, diantara kami yang sering bertemu Saya, Yusman, M. Sujibto dan Sauqi (sebenarnya hal ini pernah saya ulas sebelumnya). Dan pada kesempatan itu kami mengajak mereka untuk ngopi bareng, entah berapa kali ngopi bareng saya tak sempat mengingatnya.  

Dari intensitas pertemuan yang kami lakukan muncullah gagasan, “mengapa kita tak buat satu komintas saja”. Ya … komonitas, itu lah ide awal kami. Saya sendiri lupa siapa yang mengawali ide tersebut, yang pasti kami sama-sama sepakat untuk membentuk satu komonitas. Kemudian gagasan berkembang bahwa nanti kalau ngopi lagi, harus ada tema khusus yang dibicarakan dan mesti ada penanggung jawabnya.

Pada pertemuan selanjunya kami berkumpul dan membahas isu kontemporer saat itu, sayang saya lupa. Adalah keteledoran kami tidak mendukumentasikan isu apa yang dibahas dan siapa yang membahas. Kalau dilihat dari jumlah, jujur jumlah kami hanya berempat, namun keterbatasan tidak mengurangi semangat kami untuk belalajar dan berbagi, diskusi pun sangat meriah. Semua aktif dan saling memberikan pendapatnya sesuai kapasitas dan kapabilitasnya. Tak soal apakah argument yang disampaikan benar atau salah, yang peting harus bersuara dan suara itu ada landasan.

Setelah melakukan diskusi muncul lagi gagasan agar kominiutas ngopi bareng menjadi satu organisasi, munculnya gagasan untuk membuat organisasi sempat tarik ulur. Tarik ulur bukan soal setuju atau tidak setuju, kami sama-sama melihat kondisi dan keberadaan kami saat itu, yang hanya berjumlah lima orang (Saya, Sauqi, Sujibto, Yusman dan Tola’edi). Namun pesimisme itu tak berangsur lama, “kita tak usah ikut pakem yang ada, kita yang membuat dan kita pula yang melaksanakan” ungkap saya saat itu. Akhirnya kami sepakat untuk membentuk satu organisasi dengan nama “ngopi barenag Al-In’am”.

Kami pun melaksanakan pertemuan rutin sebagaimana diputuskan, yaitu tiga kali dalam satu bulan. Dengan konsep sebagaimana awal : pembahasan tema diskusi digilir sesuai kesepakatan dan tema harus di distribusikan pada anggota satu minggu sebelum pertemuan, baik melalui sms atau FB. Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya gagasan berkembang, angota menginginkan adanya legitimasi atas pembentukan organisasi ngopi bareng al-in’an. Kira-kira apa nama dari organisai, semua mengacu pada keterikatan giografis dan ideologis kultur dan budaya yang dinamis. Muncullah usulan nama dari Sauqi yaitu IKLIMA (Ikatan Alumni Al-in’am Malang). Kita sepakati nama IKLIMA, membentuk lambang organisasi dan membuat AD/ART.

Nama IKLIMA sedikit mendompleng sejarah Nabi dimana IKLIMA adalah nama putri Ibrahim As, begitulah singkat historis dari nama itu. Namun kami sepakat untuk tidak mengkaitkan nama IKLIMA dengan nama jenis kelamin manusia apakah itu keturunan Nabi atau apalah itu namanya. Jika momentum itu muncul dari satu ikhtiar yang diadopsi dari putri Nabi itu hanya kebetulan saja. Yang jelas IKLIMA bukan perempuan juga bukan laki-laki. Iklima tak memiliki jenis kelamin sebagaimana ada pada manusia. IKLIMA adalah nama yang bergegas yang tak terikat ruang dan senantiasa dinamis sesuai dengan dinamika yang ada dan senantiasa independen. Pembawaan lembaga Al-in’am tak mengurangi sikap dan kekeritisan dari organisasi ini karena sebagaimana sepirit awal organisasi ini digagas dan dibentuk berdasar semangat juang dan untuk membentuk suatu oase pemikiran dalam intern IKLIMA juga lingkungan sosial.

Sebagaimana dikatan di atas bahwa IKLIMA bukan perempuan juga bukan laki-laki, Iklima tak memiliki jenis kelamin sebagaimana ada pada manusia, tapi bukan berarti banci. IKLIMA adalah sebuah ikhtiar yang diikhtiari dengan semangat berbagi dan kebersamaan. Maka pada tanggal … disahkanlah nama IKLIMA. Segala kebutuhan dan administrasi kami susun secara bersama-sama. Dialog dan perdebatan a lot mewarnai perumusan AD/ART  saat itu. Saya sendiri kagum dan bedecak dalam hati, “sungguh ini sangat luar biasa” ungkap saya saat itu. Perumusan AD/ART Hampir satu malam namun belum selesai akhirnya dipending. Dan setelah pertemuan selanjutnya semua berjalan lancar dan lebih terarah.

Manusia lahir dan diciptkan oleh Tuhan dengan satu maksud dan tujuan. Maka begitu pun dengan IKLIMA, IKLIMA lahir dari sebuah gagasan, harapan,  keinginan bersama dengan sepirit perjuangan dan silaturrahim. Dan hal yang tak kalah penting adalah di dalam setiap kegiatan IKLIMA selalu menekankan pada anggota untuk senantiasa mengingat jasa orang tua, guru, dengan cara mengirim doa pada mereka. 
By : Mahmudi Ibnu Mas'ud

Sabtu, 16 Februari 2013

Sederet Kata "IKLIMA" Profil Singkat

IKLIMA (Ikatan Alumni Al-In'Am Malang), sederet kata yang bergegas dan tak panjang. Dibawah bendera organisasi IKLIMA serangkaian rutinitas dijalankan: Silaturrahim, doa-mendoakan kemudian membedah kebuntuan teori yang statis menjadi dinamis dalam sebuah diskusi. Kita senang mengotak atik kemapanan dengan belajar anti ke-mapan-an. dilanggang tak berpodium itu kita duduk sama-sama. Kita sepakat masa depan organisasi tangungjawab bersama.

Setiap 23 Agustus kita ingat bagaimana organisasi ini didirikan. Kelahiran dan kehidupan merekomendasikan organisasi ke-dinamika-an hidup. Maka moment seperti ini akan terus berulang dari generasi ke-genarasi. Generasi setelah-nya “kita” akan menentukan bagaimana langkah organisasi kedepan. Memang moment yang kita ciptakan tak se-dahsyat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang saat itu langsung diproklamirkan oleh Bung Karno,  di mana setiap tahunnya diperingati secara masal di Republik kita “Indonesia”. 

Setelah organisasi IKLIMA terbentuk, tugas kita apa? Setelah kita berlelah dengan ide “membentuk organisasi IKLIMA” apa yang akan kita lakukan? (AD/ART) jalan kecil itu dibentangkan.  Tapi apakah AD/ART sebuah harga mati yang tidak boleh dirubah dan ditafsirkan, tidak ia bisa dirumuskan dan dikontruksi ulang sesuai konteks ke kinian.
Keputusan untuk membentuk organisasi tidak selesai hanya pada malam itu dan semua telah tergambar persis dan tinggal dijalankan. Keputusan malam itu bukan aplikasi sebuah program yang terselesaikan. Maka di ruang kongres, di situlah rumusan satu tahun kedepan dipermatang, hal semacam itu akan berulang menopang waktu dan akan terus terulang.

Dalam arti itu ia cermin kebebasan bertindak, keberanian, juga kerendahan hati. Sebab disitulah para pendiri IKLIMA, yang tak 100% tahu apa yang akan terjadi, seraya mengakui ke-tak-tahu-an itu melompat masuk kedalam sejarah. Jika ada diantara mereka yang seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-hentinya merenung, akhirnya toh berkesimpulan, bahwa berlarut-larut dalam pikiran, ”sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut,” seperti kata pangeran Denmark dalam lakon Shakespeare itu. (Goenawan Muhammad).

Di dalam huruf ”IKLIMA” itulah tampak gagasan revolusi berfikir bukanlah sebuah revolusi Leninis. Ia tak bertolak dari teori. Ia juga bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari ajaran dan petuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika pendirian organisasi itu bisa dianggap bagian penting dari revolusi kita, ia ekspresi sebuah pragmatisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi Amerika. Pada tanggal 17 Agustus itu, para pendiri IKIMA kita menampik ”teori penonton” tentang pengetahuan.

Teori itu, kata pelopor pragmatisme modern, Dewey, memanjakan ilusi ini: menganggap manusia, dari tempat duduknya diketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang perikehidupannya. Padahal yang ”benar” tak dapat dipisahkan dari laku. Bagi kaum pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan pijakan pengetahuan tentang dunia.

”IKILIMA” adalah pengakuan, jika ”kebebasan” adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana yang belum selesai. Tapi lebih penting lagi pencetusan organisasi itu seluruhnya mengisyaratkan, bahwa tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum hal-ihwal.

Organisasi “IKLIMA” itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan genting yang melahirkannya mengingatkan: hidup, juga hidup sebuah dinamika dan perjuangan, terdiri dari saat-saat yang tak pernah sempurna. Hidup selalu mengandung ”kewacanaan” yang belum tercatat. Sebab itu kita harus terbuka, berseru kepada diri ini, untuk semangat menyongsong masa depan yang tak pernah kita ketahui arah berlabuhnya.
Profil Singkat Pendiri ILKIMA
Diakhir ini saya diminta untuk menceritakan orang-orang yang mendirikan ILKIMA. Sebenarnya saya amat berat melakukan ini, karena saya yakin tujuan didirikan IKLIMA bukan untuk mencari nama. Seperti yang pernah saya kemukakan pada tulisan-tulisan sebelumnya bahwa pendiri organisasi ini memiliki latar belakang berbeda satu dengan yang lain. Mereka pun digodok di lingkungan kampus berbeda. 

Sujibto dan M. Sauqi merupakan Alumni Al-In’am (MI-MTs), kemudian melanjutkan SMA-nya di Pesantren Annuqoyah Guluk-guluk Sumenep. Setelah menyelasikan pendidikan SMA di pesantren ia melanjutkan Studi di salah satu Perguruan Tinggi (PT) swasta. Sujibto meneruskan di UNISMA (Universitas Islam Malang) sedangkan M. Sauqi pernah berada di Kediri “Pare” mengasah kemampuan bahasa Ingrisnya sambil melanjutkan UNIKAN (Universitas Kanjuruhan Malang)  keduanya dan lulus di tahun 2009. Keduanya pernah aktif di Organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), didirikannya IKLIMA tidak lepas dari peran mereka, setidaknya kosan Sujibto jadi saksi lahirnya ini, dan nama IKIMA atas ide M. Sauqi (setelah nama ngopi bareng Al-in’am). 

Selain itu sosok sedehana Mahmudi dan Yusman juga Alumni Al-inam (MI-MTs). Setelah lulus dari MTs Al-In’am keduanya tidak  melanjutkan SMA dilembaga tersebut.  Namun keduanya  memilih melanjutkan ke Sekolah Mengah Aliyah Negeri (MAN) Sumenep. Mahmudi sempat menjabat Ketua Umum OSIS 2005-2006 di MAN Sumenep. Setelah menyelasaikan pendidikan di MAN keduanya melanjutkan Studi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Malang. Mahmudi Melanjutkan di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, sedangkan Yusman Melanjutkan di Universitas Negeri Malang (UM).

Di Malang Mahmudi dan Yusman aktif di organisasi yang berbeda. Mahmudi Aktif di kegiatan Pers “Jurnalistik” Mahasiswa UAPM INOVASI, selain itu dia juga aktif di kegiatan HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) IPS dan BEM (Badan Eksekuif Mahasiswa). Yusman Aktif  di HMJ Bahasa Arab, DMF (Dewan Mahasiswa Fakultas) Sastra UM dan organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Mahmudi dan Yusman memiliki peran yang tidak kalah penting atas didirikanya organisasi IKLIMA. Tanggal 23 Agustus malam Jumat, Mahmudi bersama M. Sauqi mengesahkan logo dan lambang IKLMA. Selain itu Mahmudi mengabadikan moment- moment IKLIMA dalam tulisan “Profil ILKLIMA” dan beberapa tulisan lainnya. Sedangkan Yusman sebagai layout tulisan atau moment-moment tertentu dan mengabadikaanya di situs “blog” (http://iklima-sm.blogspot.com), sehingga bisa dibuka kapan dan dimana saja

Selain pemuda yang disebutkan di atas, ada beberapa orang pemuda yang harus saya sebutkan. Pemuda dibawah ini yang menghidupkan roda organisasi ILKLIMA hingga pada tahun 2011:
Tola'edi                       : IKIP Budiutomo
Abd. Jamil                   : UNISMA
Fawait                         : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
Darsono                      : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
Muhaimin                    : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
Faizin                          : Unitri (Univ. Tribuana) Malang
M. Aliwafa                  : Universitas Brawijaya (UB) Malang
                       
Potensi pemuda dilihat dari banyaknya jumlah pemuda usia pada rentang usia 16 sampai 30 tahun yang mencapai ± 62 juta jiwa atau 27 % dari jumlah penduduk Indonesia. (Sumber : Proyeksi data single years BPS Tahun 2009). Demikian juga jumlah organisasi kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang terus mengalami peningkatan, yakni telah mencapai ± 276.787 OKP dari tingkat nasional s/d kelurahan/desa. Besarnya potensi pemuda di atas bila dikembangkan dengan baik maka pemuda dapat diandalkan sebagai agen perubahan, kontrol sosial, dan kekuatan moral.

Saya berterimakasih kepada mereka para pemuda yang menghidupkan IKLIMA hingga sekarang, semoga IKLIMA tetap jaya. Jangan kalian merasa tidak dianggap karena anggapan tidak akan menjamin masa depan. Melangkahlah dengan sigap. Jangan terbelit asumsi, justru kita berkesempatan untuk mematahkan dan ciptakan asumsi baru, melalui produktifitas kita masing-masing.

Salam Perjuangan ….!!!!
By: Mahmudi IKLIMA

Jumat, 15 Februari 2013

Sebuah Profil

 INCLUDE DALAM ANGKA 3+1
"Didiklah rakyat dengna organisasi dan didiklah pemerintah (penguasa) dengan perlawanan (koreksi)"
(Diinspirasikan dari Buku Tetralogi : Pramudya Ananta Toer).
Kutipan di atas mensiratkan pentingnya organisasi di tengah kehidupan yang semakin terisolir dan individual, selain itu organisasi sebagai wadah diskusi (musyawarah) dan mempererat tali persaudaraan "silaturrahim" dan kajian ilmiah. Berangkat dari itu semua rekan-rekan seperjuangan yang pernah menimba pengetahuan “ilmu” dari Al-In’am Banjar Timur Kecamatn Gapura Kabupaten Sumenep berinisiatif membentuk satu wahana sebagai penampung aspirasi “Ngopi Bareng”.  
Ngopi Bareng Alumni Al- In’am berdiri pada tanggal 23 Agustus 2008, di Merjosari Malang, sembilan hari setelah peringatan kemerdekaan RI 63., Ngopi Bereng  adalah sebuah wadah diskusi ilmiah. Wahana ini digagas oleh 5 orang (Sujibto, Muahammad Sauqi, Mahmudi, dan Yusman) dimana mereka adalah alumni Al-In’am yang ada di Malang. Seiring perjalanan dan perlunya legitimasi maka wahana diskusi ilmiah ini kemudian dibentuklah nama keorganisasian,  “AL-IN’AM NGOPI BARENG”. Organisasi ini berangkat dari kegelisahan dan keprihatinan terhadap fenomena sosial yang semakin terkooptasi dan terdistorsi oleh budaya konsumirisme yang mengarah pada eksploitasi hidup.  
Kegiatan rutin oraganisasi: diskusi, bedah berita-berita up to date dll, dilakasanakan dua mingu sekali (satu bulan dua kali pertemuan) keberadaan anggota yang berbeda tempat  tidak menyurutkan kemauan untuk terus berperoses dan saling  mengisi satu sama lain, kepekaan terhadap fenomena sosial mengaharuskan masing-masing individu untuk terus berkompetisi dan tidak pernah puas terhadap apa yang diperoleh. “memang kami sengaja menanamkan sikap skeptis dan tidak suka pragmatis”. Itulah kami…!
Semangat dan kemauan tinggi menjadi salah satu kunci eksisnya organisasi ini, hal itu dapat dilihat dari beberapa kegiatan yang telah berhasil dilaksanakan seperti diskusi bersama : membahas tentang waktu, “tema tersebut menjadi hal yang sangat penting pada saat itu, mengapa? Pertama organisasi ini baru pertama mengadakan kegiatan formalnya. Sehingga persoalan waktu menjadi sebuah hal yang urgen, kerena jika seseorang tidak bisa me-manage waktu secara baik maka dia dipastikan akan tergilas oleh waktu itu sendiri”.
Selain itu kita yang notabeni mahasiswa dituntut mampu mengoptilmalkan waktu seefesien mungkin dengan memenej dengan baik, kalau tidak maka akan ada yang dikorbankan, ada satu setedmen mengatakan “aktif berorganisasi, identik dengan molor kuliah (kuliahnya amburadul)” fenomena semacam itu sudah menjadi rahasia umum dikalangan mahasiswa “aktifis”. Dan kita tidak mau terhadap streotip semacam itu, sehingga meminejemen waktu dan pemanfaatannya supaya efektif harus dimusyawarahkan dan hal itu sangatlah penting.
Pada pertemuan yang kedua kemudian membahas masalah pentingnya membangun cita-cita “IMAJINASI DAN WUJUD PENGETAHUAN” Albert Einstein berpendapat bahwa "imajinasi lebih penting daripada pengetahuan". Bagai gayung bersambut, organisasi yang baru dirintis dan orang-orang yang berkecimpung terus melebarkan sayap dan mematangkan programnya untuk menjawab tantangan kedepan, satu hal yang sangat membanggakan kajian-kajian yang disampaikan tersusun rapi dan terstruktur, pembahasan topik  berkesinambungan dari satu topik dengan topik yang lain.
Kemudian pada pertemuan yang ketiga kami sepakat mengangkat budaya Islam “Islam Simbolik: Jilbab Dalam Prespektif Budaya Indonesia”. Kami tidak akan mengulas topik-topik yang telah tersampaikan secara mendetail pada kesempatan ini, namun kami juga tidak hendak populis dengan jargon, pembaca bisa menyimak langsung dan memberikan keritik yang konstruktif terhadap organisasi supaya kedepannya lebih baik.
“Hidup ibarat roda yang berputar terkadang di atas dan di bawah” itulah siklus hidup. Pada masanya manusia akan menemukan titik jenuh, begitu pula perjalanan organisasi AL-IN’AM NGOPI BARENG yang ada di Malang. Setelah pertemuan ketiga sempat terjadi stagnasi “kekosongan” kegiatan, hal itu kerena kesibukan dari masing-masing anggota, sebagian sibuk dengan garapan skripsinya sementara yang lain sibuk dengan kegiatan reguler kampus dan keorganisasian di kampusnya masing-masing.
Kurang lebih sekitar tiga bulan organisasi kehilangan rohnya, pesimis sempat muncul dari masing-masing individu “akankah organisasi ini sanggup bertahan”. Semangat yang awalnya membara perlahan meredup larut dalam kesibukan.
Pada Mei 2008 organisasi ini kembali mencoba merajut tangkaian yang berserak kebetulan pada saat itu ada adik kelas yang baru beberapa bulan di Malang, kesempatan itu pun tidak kami sia-siakan dan kami ajak untuk include, pada bulan yang sama kemudian kami menyusun pertemun dan melakukan reorganisasi, empat orang yang hadir dalam pertemuan (Sujibto, Muhammad Sauqi,  Mahmudi dan fawaid baru) Muhammad Sauqi sudah memperoleh gelar dengan predikat sarjana Pendidikan Bahasa Inggris dan insyaallah Sujibto sendiri akan di-wisuda pada 10/10/2009 mendatang dengan gelar yang sama. Minimnya kaderisasi mengharuskan kami mengangkat Fawaid untuk menjadi pemimpin organisasi (leader of organitation)  meskipun dia sendiri baru mengenal kehidupan kampus dengan satu tujuan sebagai pembekalan pendidikan sejak dini.
Namun ujian dan cobaan terhadap organisasi tidak berhenti sampai disitu, setelah sempat melaksanakan kegiatan tukar wacana sekitar dua kali, organisasi kembali mengalami kebuntuan yang lama. Pada  tanggal 15 Agustus kami sempat membahas “ilmu tidak hanya bisa diperoleh di kampus” pada kesempatan ini ada anggota “alumni” baru, adik kelas yang hendak melanjutkan studinya di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang, pada kesempatan ini ada satu inisiatif untuk merubah nama keorganisasian, namun belum terumuskan, keterlibatan anggota baru pada setiap reorganisasi sebetulnya hal itu bukan satu kesengajaan dan hanya bersifat kebetulan.
Kemudian pada tanggal 16 Agustus 2009, kami kembali mengadakan pertemuan. Pada saat itu telephone berdering ….. “Tola’edi menelpon : Yusman dan Mahmudi segera ke kontrakan penting, ditunggu di depan Masjid IKIP Budi Utomo Malang”, kami sempat terkejut dan sempat penasaran, kami pun segera meluncur ke kontrakan Tola’edi  untuk membahas masalah workshop dan nama organisasi AL-IN’AM NGOPI BARENG menjadi IKLIMA sekaligus membuat logo sementara.
Agar legitimasi jelas maka kami  kembali mengadakan pertemuan di salah satu lesehan di gang X Malang, 21/08/2009, pada kesempatan ini kami membahas  pengesahan nama dan ketetapan logo di mana dihadiri oleh Muhammad Sauqi dan Mahmudi. Pada pukul 21.30 tertanggal 21 Agustus 2009 secara aklamasi IKLIMA di-sah-kan, pada minggu berikutnya logo IKLIMA :


Berubah sebagai berikut :


Perubahan ini secara subtantif nantinya akan dijabarkan dalam AD/ART.
Selanjutnya kami segenap anggota menyampaikan ungkapan terimaksih kepada seluruh teman-teman yang telah banyak memberikan kontribusi baik sacara pemikiran dan terbih mereka meluangkan segenap waktu dan dedikasinya kepada IKLIMA.
Akhirnya “ ketika saya mengetahui bahwa saya telah membuat kesalahan atau karya saya tidak sempurna, dan ketika dikritik pedas, maka sebagai penghibur bagi diri sendiri, saya akan berkata beratus-ratus kali kepada diri sendiri, ‘saya telah bekerja keras, dan tidak ada orang lain yang melampaui.’“ Charles Darwin  



Malang 05/09/2009